Pelajaran Syarat Hidup

Bismillahirrahmanirrahiim...

Akhir-akhir ini melihat anak-anak makin besar, mulai berpikir bagaimana biar anak-anak memiliki mental yang kuat, tidak mengeluh, tangguh, beretika dan beriman. Karena jaman sekarang benar-benar sepertinya jauh lebih mudah mendapatkan apapun, mainan mahal, mainan di mall, sekolah diantar jemput, tidur dengan AC, makan enak, belum lagi anak-anak makin pintar bermain gadget. Khawatir pasti ada.

Alhamdulillah. Eh ga lama koq mendapat semacam artikel tentang mendidik anak biar mentalnya bagus di fesbuk, dan kemudian mendapat broadcast ini di group WA teman kuliah (Thanks Widya broadcast artikelnya, keren). Karena artikelnya bagus, saya simpan di sini juga, minimal untuk mengingatkan diri sendiri.
Selamat menyimak.
 -----
Bahasanya Gaul, tp isinya Inspiring....keren deh
Sharing dari blog Aditya Mulya 

Syarat Hidup
October 12th, 2015

Generasi Sebelumnya
Ada seorang operations manager dari sebuah client kantor gue – yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras. Kita sebagai vendor yang baik, meminta maaf. Dia bilang,
“Gak papa. Justru saya suka nasi keras. Gak suka tuh saya, beras sushi.”
“Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask.
“Iya, orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga kita makan.”
This may be simple. But this, blew my mind.

Dan setelah gue menjadi orang tua, di sini lah gue lihat banyak orang tua mulai mengambil langkah yang tidak disadari, berdampak.
“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.”
“Waktu kecil, saya makan aja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.”
“Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”
We experienced the worst and therefore we tend to give the best.
The question is, is the best…is what our children need? Really?

Orang sukses itu menjadi sukss karena (1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin (2) dididik oleh kesulitan yang dia hadapi.
Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitudenya dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya sulit. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi drive orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.

Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu?
Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.

Generasi Berikutnya
Apa yang terjadi dengan dari hasil thinking frame ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:
Anak dari teman ibu gue terbiasa makan beras impor thailand. Di 98, kita terkena krisis dan orang tuanya tdiak lagi mampu beli beras impor. Yang terjadi adalah, anaknya gak bisa makan.
Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah.
Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek, gak ada air panas.

Gue tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah nurture.
Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan gue jadi mentor seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, gak nyaman di posisi ini.”
Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat saya nyaman di kantor sini.”
Pada kali kedua gue mendengar mentee gue ngomong ini, gue mulai masuk “Kamu sadar gak, kamu udah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.”
“…”

“Emang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we have and deal with it.
Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice to have’ dan bukan ‘must have’.”

What to Do?
Gue menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Gue pernah dengar bahwa di saat batita, anak sultan dikirim untuk hiidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski dia anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, dia kembali ke istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup niminum.

Gue pun memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, gue berubah total dan gue kikis hilang itu semua. Karena gue tidak ingin anak-anak gue memiliki syarat hidup yang banyak. Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa gue pun tidak boleh memiliki syarat hidup banyak.

Gue mengajak mereka naik kopaja atau transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu, rendah.
Gue membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu suatu saat nanti mereka harus terus-terusan.
Gue mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu saat cannot afford air conditioning.
Gue tidak menginstall air panas karena gue ingin anak-anak gue baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin.
Gue melarang mereka main tablet karena gue ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu.
Gue melarang mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena merk mobil itu gak pernah penting, dan gak akan penting.

Kita pergi ke mall memakai kopaja. And we have fun ketawa-ketawa, seperti jutaan orang lain.
Gue tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Instead gue makan sama anak-anak gue. Siapa tahu suatu saat, that is all they can afford. Agak keras. And we like it.
We teach them to pursue happiness so that they learn the value and purposes of things. Not the price of things.
Nasi kemarin yang masih perfectly safe to eat, masih punya value. Kopaja dan mercy memiliki purpose yang sama, yaitu mengantar kita ke sebuah tempat.
AC atau gak AC memberikan value yang sama. A good night sleep.

Kenapa semua ini penting? Kita harus ingat bahwa generasi bapak kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 milyar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk generasi kita. Kita harus bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan 12 milyar orang di generasi mereka.

One needs to be a  tough person to be able to compete with 12 billion people. Dan percaya lah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu anak-anak kita bersaing dengan 12 milyar orang itu.

Itu aja sih. ☺

Edited 13 OCT: berdasarkan input dari sdri Leony dalam section comment, saya tambahkan: Just in case masih ada yang belum menangkap inti dari blog ini, intinya adalah, mendidik seorang anak dalam 1 ekstrimitas (selalu frugal atau selalu mewah) tidak baik. Tidak baik bukan dari standar atau sisi pandang seorang Adhitya Mulya, tapi tidak baik dari sisi pandang siapa pun di mana pun. tidak baik by any  standard. Apa jadinya seorang anak selama ini hanya tahu susah tiba-tiba dapat rizki 1 milyar? Jadi teringat kasus turis cina daratan yang buang air besar di trotoar luar toko tas di Inggris. Rizki berubah, mentalitas tidak. Apa jadinya jika seorang anak hanya tahu kemewahan? Hidup serasa mati jika tidak ada 1 hal enteng saja.
Kita semua orang tua dan sensitif jika dibilang ‘cara ini salah, cara itu salah’. Semua cara terserah kita masing-masing – tidak ada yang benar. Gue sendiri banyak menulis ‘memilih untuk’. Feel free to make your choices. Jadi, saya akan memulai banyak posting ke depan dengan berkata: kalau saya sih… dan Saya memilih untuk…

Untuk menutup posting ini, kalau saya sih, ketika mendapat rizki berlebih, bukannya meningkatkan kemewahan. Tapi memperkenalkan ragam kemewahan yang ada. makan tempe, makan steak. Liburan ke X, liburan ke Y. Memperkenalkan ragam tingkat kemewahan dari yang paling sederhana asampai yang paling mewah yang saya mampu, agar  anak-anak mengenal apa itu susah, sebelum mereka mengeluh. Agar anak-anak mengenal apa itu mewah, sebelum mereka kaget dan tidak bijak mengelolanya.

------ 

Kalau mau baca langsung ke sumbernya silahkan ke blog berikut http://suamigila.com/2015/10/syarat-hidup.html , jangan lupa baca komentar dan diskusi di bawahnya, untuk menambah wawasan. 

Edited 21 Oct :
Terus terang, saya suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan mendidik anak.
Kalau nasi kemarin (bukan basi ya), saya memang masih suka, jaman kecil memang masih terbiasa makan nasi kemarin, kalau lebih, pasti dihangatkan untuk dimakan esoknya. Sempat ada artikel kalau nasi kemarin malah lebih menyehatkan, tapi lupa alasan ilmiahnya, mungkin pembaca bisa cari tahu di mbah gugel ya, hehe.
Jadi teringat perjuangan ibu dan bapak saya, sejak SD saya harus bisa mencuci piring, masak nasi goreng tempe tahu, cuci baju sendiri terutama seragam sekolah, setrika sendiri, menyimpan sendiri pakaian di lemari. Jadi ibu saya tidak mau dengar kalau saya dan adik-adik berteriak mencari topi, dasi, kaus kaki, karena kami yang mencucui-setrika-menyimpan sendiri. Saat SMP ibu mewajibkan saya untuk puasa senin kamis, sholat tahajud setiap malam, pukul 1 atau 2 dini hari ibu selalu membangunkan saya. Waktu itu saya sering mengeluh karena sangat ngantuk, tapi ibu saya pintar, sholat tahajud nya bersamaan ibu di belakangku, jadi saya pun tidak bisa korupsi jumlah rakaat, haha. Harus bangun lebih pagi berbagi tugas dengan adik-adik saya yang laki-laki semua, sebelum mandi, kami ada yang mencuci baju diutamakan seragam masing-masing, menyapu-mengepel, masak air, menghangatkan sayur, mencuci piring. Sejak SMP pun hari Minggu saya wajib bikin kue atau camilan. Kemudian SMA, setiap libur, sebagai tambahan tugas di rumah saya wajib memasak sayur dan lauk pauk.
Sejak dulu Ibu saya tidak bisa hidup tanpa ART, sejak saya kecil selalu ada ART (yang datang di pagi hari, siang/sore nya pulang), tapi tidak membuat kami manja.
Setelah Maghrib, tivi harus dimatikan, belajar minimal sampai pukul 21.00.
Waktu kami SD (Negeri) dulu berangkat sekolah jalan kaki karena tidak jauh dari rumah. Kemudian SMP (Negeri) berangkat ke sekolah menggunakan sepeda, dan SMA (Negeri) menggunakan angkutan umum. Alhamdulillah jaman sekolah dulu masih aman, tidak mengalami musibah/bahaya sama sekali di perjalanan berangkat maupun pulang sekolah.

Terbacanya sangat melelahkan ya untuk anak-anak? Jangan salah, anak-anak energinya cukup besar, dan yang dikerjakan sesuai porsinya.
Bagaimana dengan prestasi kami di sekolah, kalau terlalu banyak melakukan pekerjaan di rumah? Kalau prestasi adik-adik saya waktu SD sampai SMA terus terang saya lupa mereka mendapat rangking berapa. Tapi saya sendiri, waktu SD juga lupa rangking berapa, kalau SMP ya alhamdulillah pernah 10 besar, 5 besar di kelas. Lumayan lah, xixixi. SMA, alhamdulillah 3 besar di kelas, 10 besar paralel, paling poool juara 2 di kelas, gimana bisa juara 1, selama 3 tahun sekelas dan sebangku dengan sahabat perempuan yang juara 1, sahabat saya ini selalu juara kedua paralel di sekolah, hahaha. Wah yang ini tidak bermaksud mem-branding myself, tapi sedang membuktikan kalau mendidik anak agar tidak manja tidak mempengaruhi kecerdasannya.
Saya kira dulu karena kuncinya disiplin dari ibu, disiplin belajar, disiplin mengerjakan semua tugas. Dan berubah menjadi kebiasaan.

Jadi semua pelajaran itu sangat berharga, saat kuliah di luar kota dan harus kos, semua bisa saya kerjakan sendiri. Dan saya sempat kaget ada beberapa teman kos dari kota besar, ternyata malah menangis tiap malam karena tidak betah, tidak biasa melakukan semua sendiri.
Jadi jika ada yang bertanya bagaimana saya bisa membuat kue, ini semua karena Alloh SWT dan ibu saya, semua karena terbiasa. Kebiasaan membuat kita struggle. Kebiasaan baik menjadikan kita hebat.
Bagaimana dengan adik-adik saya yang laki-laki semua, tidak berbeda dengan saya, mandiri, bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri, satu adik laki-laki di ibukota. Satu lagi sudah berkeluarga, saya lihat, walaupun laki-laki, pandai merawat anak-anaknya, bisa memandikan, menyuap makan anak, membuat susu, dan tetap melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu bagian depan halaman, menyiram halaman, memasak air, dan saat Idul Adha kemarin adik laki-laki saya memasak daging kambing tanpa melihat resep, membuat bumbu dan menggunakan dandang presto, hasilnya enak sekali, sayang lupa difoto, hehe.
Sekarang waktunya saya mendidik anak-anak, harus tega (bukan berarti kejam), agar anak tidak lembek saat besar nanti. Tidak mudah menjadi ibu, tapi mari dimulai dengan bismillah... ^__^

 (Foto cupcake fondant buatan Mia Sweet)

Salam mendidik anak,
Mia Sweet 

Komentar

Postingan Populer