DUNIA TANPA ORANG DEWASA

Suara lonceng berdengung keras membuatku terbangun. Aku menatap sekeliling kamar, tidak ada Ibu yang biasa membangunkanku.
“Suara lonceng apa itu?” tanyaku bingung.

Aku melangkah pelan ke luar kamar, berharap ada siapa pun di ruang tamu, tetapi rumah itu kosong dan sunyi. Lonceng itu masih berbunyi, seperti berasal dari tengah kota, memanggil semua anak untuk datang.

Aku mencoba melangkah pelan-pelan menuju jendela, membuka gorden, memastikan apa yang terjadi di luar. Tidak ada ibu, ayah, ataupun orang dewasa. Semua yang keluar dari rumah tetangga pagi ini adalah anak-anak. Apakah aku harus keluar juga?

Di tengah kebimbanganku antara keluar atau bertahan di dalam, suara seseorang yang memanggil namaku diiringi dengan ketukan pintu membuatku terperanjat.
Aku berjalan perlahan dan penuh keraguan ke arah pintu. Tepat di balik daun pintu, aku dengan suara khas anak-anak menyahut, “Siapa di sana?”

“Ini aku, dari rumah sebelah.” Suara itu terdengar bergetar, menandakan ketakutan.
“Ada yang manggil kita semua ke taman kota, katanya waktunya sudah dekat.”

Sudah dekat? Apa maksudnya? pikirku dengan dahi mengerut.
Aku mendongak, menatap gagang pintu yang jauh lebih tinggi di atasku. Aku melihat sekeliling, mencari barang yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai pijakan. Mataku menemukan beberapa bantal sofa, bergegas kuambil tiga buah, menumpuknya dan menjadikan pijakan untuk menjangkau gagang pintu.

Aduhai, aku bukanlah kurcaci. Barangkali pintu yang terlampau tinggi, sampai-sampai hanya untuk memegang gagang pintu, aku perlu menumpuk tiga bantal.
Pintu berhasil kubuka, aku takjub berdecak kagum melihat suasana di luar. Sudah seperti dunia dongeng. Netraku menangkap pohon ice cream yang meluber sampai membentuk anak sungai. Seorang anak kecil manis berwajah barbie menaiki sepeda yang terbuat dari makanan kesukaanku. Empuk, lembut, manis. Wah ... aku benar-benar takjub.

“Aduh!”
Rasa kagumku membuyar ketika merasakan tepukan keras pada pundak kananku. Tangan kecil itu cukup membuatku merasakan sakit.
“Apa yang kamu pikirkan? Kita harus segera pergi ke taman kota,” tutur seorang anak yang berdiri tepat di sampingku.

Kepalaku menoleh ke kanan, menatap matanya yang terlihat berbinar. “Kenapa kita harus ke sana? Ada apa di sana? Aku masih harus mencari ibu dan ayahku yang menghilang saat aku sedang tertidur. Aku tidak bisa meninggalkan rumah tanpa izin dari mereka.”

Kening bocah di sampingku itu berkerut, kedua alisnya menaut. Sungguh wajah polosnya sangat menggemaskan saat kebingungan.
“Ayah ibu? Siapa itu? Apakah penduduk baru lagi sepertimu?”
Aku terheran-heran mendengar pertanyaannya. Apakah dia amnesia, sampai tak tau ayah dan ibu.
“Haish, ayah-ibu itu orang tua kita. Kamu lahir dari mana kalo tak ada orang tua?”

“Oh ....” Wajahnya kembali berbinar. “Ah, aku lahir dari pohon itu. Dari bunga ratusan tahun sampai mengalami layu di penghujung usianya. Kelak angin akan membawa satu biji yang di hasilkan dari hidupnya yang panjang. Bayangkan! Satu biji dalam seratus tahun. Biji itu telah menumbuhkan makhluk lain. Diriku!”

Aku menatapnya bingung , bagaimana mungkin dia lahir dari sebuah pohon yang memiliki bunga berumur seratus tahun? Lalu satu biji bunga itu menjelma makhluk lain seperti dirinya? Aneh. Sungguh di luar nalar!

“Ayo!” Anak kecil yang tidak kuketahui namanya itu menarik tangan dan membawaku entah ke mana. Sepanjang jalan dia tak henti mengoceh dan meracau. Semua ucapannya terdengar tidak masuk akal. Aku pikir dia sangat pintar berkhayal.

“Nah, sampai!”
Aku terpukau dengan pemandangan di depan. Sungguh dunia macam apa yang kusinggahi ini. Semua orang yang berada disini adalah anak kecil dengan berbagai peran yang komplit.
Ini bukan bunga tidur, kan?”
Batinku berisik, antara ikut bergabung dengan anak-anak lain ataukah menyendiri di tepi. Dunia ini asing bagiku. Tidak ada seorang pun yang aku kenal.

Anak itu kembali menarik tanganku, lalu membawaku masuk ke dalam sekumpulan anak kecil lain yang terlihat seumuran denganku. Perasaan tidak nyaman, gelisah, cemas, dan takut berpadu menjadi kesatuan yang menyerangku secara tiba-tiba.

Anak kecil yang tadi membawaku ke sini sekarang tengah asyik mengobrol bersama anak-anak lain. Dia seolah-olah melupakan kehadiranku di tengah-tengah dunia yang aneh ini. Aku terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian.

Yang bisa kulakukan hanyalah diam terpaku, menatap kosong, dan mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku.
Aku mengamati sekeliling saat berjalan-jalan di sana. Tempat ini begitu luas, rasanya seperti berjalan di pusat kota yang ramai, tetapi sepanjang mata memandang hanya ada anak-anak dan objek-objek aneh di sekitar.

Mataku menatap setiap detail kecil yang ada di sini. Pemandangan yang sungguh membingungkan. Ini semua terasa begitu nyata, tetapi bagaimana bisa?

"Semua yang ada di sini ... anak-anak? Di mana orang-orang dewasanya?" batinku kebingungan.
Aku terus berjalan, melangkah perlahan di antara tawa anak-anak dan benda-benda yang mustahil ada di dunia nyata. Kuda-kuda berbulu kapas terbang di atas kepala, rumah-rumah berayun seperti ayunan gantung, dan balon-balon raksasa yang mengangkut anak-anak ke langit. Langkahku terhenti di depan sebuah menara tinggi dari permen kapas yang menjulang ke awan. Di puncak menara berdiri sesosok anak kecil dengan jubah biru muda dan mahkota kecil di kepalanya, memandang ke bawah seolah-olah menunggu seseorang.

“Apakah kamu yang terakhir datang hari ini?” tanya anak itu, suaranya bergema lembut, tetapi tegas.
Aku mendongak dengan mata yang menyipit, berusaha melihat wajahnya. Aku menatap sekeliling dengan bingung ketika semua orang menatapku.

Kenapa semua orang menatapku? Apa dia bertanya padaku? pikirku dengan sedikit tak yakin.
“Hei, dia bertanya padamu,” bisik anak kecil yang tadi memanggil dan menggedor pintu rumahku.
“A-aku?” tunjukku pada diri sendiri. “Kenapa aku?”
“Memangnya siapa lagi yang datang terakhir kalau bukan kamu?” sindir seorang anak yang berdiri tak jauh dariku.
“Aku datang bersamanya—“
“Itu karna dia menjemputmu,” selanya tanpa mau mendengar ucapanku.
Mendengar ucapannya barusan aku pun terdiam. Semua ini begitu aneh, tetapi terasa nyata. Jujur saja, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Bahkan rasanya berpikir pun sekarang tidak mungkin.

Apakah aku sudah gila? Ingin sekali rasanya aku anggap ini hanyalah sebuah lucid dream yang memang kadang aku dapatkan akhir-akhir ini.
“Cubit aku,” ucapku pelan pada anak yang masih berada di sampingku.
“Hah?”
“Pokoknya cubit saja!” kataku lagi agak keras dan dia pun melakukannya tanpa ragu.
Rasa nyeri yang menjalar sesaat dari cubitannya membuatku semakin yakin, ini semua bukan sekadar mimpi.

“Jadi, apa kamu yang datang terakhir hari ini?” tanya anak berjubah biru itu. Suaranya pelan, tetapi terdengar penuh penekanan.
Aku masih diam. Tak tahu harus menjawab apa. Suasana asing dan aneh ini cukup membuatku bingung. Takut-takut jika jawaban yang aku berikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

“Butuh berapa lama untukmu berpikir?” tanya sebuah suara seseorang menyadarkanku.
“Ehm ... aku tidak tahu, apa aku akan menjadi yang terakhir atau akan ada anak lain yang datang,” ucapku penuh kehati-hatian.
Anak berjubah biru muda itu mengangguk, dia tersenyum. Kemudian menjentikkan jarinya seperti memberi pertanda. Lalu, tak lama kemudian aku melihat kucing besar yang bulunya berwarna senada dengan jubah anak lelaki itu. Warna yang tidak normal pada kucing yang pernah aku lihat.

Kucing itu cukup besar sampai muat untuk ditunggangi oleh dua atau tiga orang anak. Aku takjub melihatnya. Bulunya terlihat indah dan lembut. Biru muda dan putih.
Anak berjubah biru muda itu pun naik kepunggung kucing tersebut. Lalu turun dari menara. Bergabung bersama kami yang berkumpul di bawah. Entah apa yang hendak dia lakukan. Aku tak bisa melihatnya, karena dia berada cukup jauh dariku dan juga tertutup oleh tubuh-tubuh mungil yang mengelilinginya.

Tiba-tiba langit di atas kami menurunkan hujan permen berwarna pelangi, semua anak-anak tertawa dan bersorak. Sementara itu, aku masih terpaku di tempat, masih berusaha mencerna ini semua.
Apakah ini hanya sekadar ilusi? tanyaku dalam hati.

***

Cerita di atas adalah kenang-kenangan dari sebuah game atau permainan diantara tugas sarkat kami, kelompok 7, batch 78 KMO Indonesia.

Game ini bernama Sambung Kalimat, yang dipimpin Kak PJ Nia, PJ membuat judul Dunia Tanpa Orang Dewasa, dan  satu paragraf pembuka. Kemudian setiap anggota kelompok menyambungnya dengan satu paragraf, tujuannya adalah agar menjadi sebuah cerita.

Taraaa, di atas hasilnya, sebanyak 17 anggota kelompok 7 ini berkontribusi membuat kalimat-kalimat. Setelah dibaca keseluruhan, wow, ternyata jalan kisahnya adalah bertema atau bergenre fantasi. Kalian memang keren, gaess!

Dan cerita diakhiri dengan teknik cliffhanger.
Apa itu cliffhanger? Silakan membuka google, YouTube atau apapun ya, hehe.

Wah tugas sarkat kurang sehari lagi, bahagia atau sedih, nih?

Saya ikut doakan semoga Kak PJ dan semua yang di Batch 78 makin sukses mulia, makin banyak karyanya, semua berkualitas, dan kelak semua menjadi penulis terkenal, berbakat dan bermanfaat untuk bangsa dan negeri ini, aamiin.

Yuk dukung komunitas ini untuk melahirkan sejuta penulis berkualitas di negeri ini.

Barokallahu fiikum.

(gambar properti pinterest)
--

Saya selipkan foto kue seperti biasa ya.
Untuk spill harga, tanya-tanya, atau pemesanan via WhatsApp 0818-433-549.

Salam cinta menulis,
Putri & Mia Sweet Cake 

--

Komentar

Postingan Populer